Tuesday 17 December 2013

Peradaban Besar Lahir dari Cita-cita Besar

Pada suatu kesempatan mungkin kita pernah bertanya, mengapa para pendaki gunung mau bersusah payah menyusuri tebing-tebing tinggi dan curam? Atau mengapa para pejuang dakwah rela menggadaikan harga dirinya demi perjuangan Islam?
Selidik punya selidik ternyata kerelaan mereka itu bukanlah didasari oleh perasaan ikut-ikutan. Jauh dari itu semua, ternyata ada satu keyakinan jangka panjang yang telah mereka siapkan dan terbingkai dalam cita-cita besar. Apakah itu?
Para pendaki rela bersusah payah menyusuri tebing-tebing tinggi dan curam karena ia tahu hanya dari atas puncaklah ia bisa melihat bunga-bunga edelewies yang indah mempesona. Para pejuang agama Islam pun demikian. Hanya dengan melewati jalan yang penuh liku inilah, mereka bisa berjumpa dengan sang Khalik, kekasih yang dirindukannya.
Sesungguhnya bentuk keindahan dan kebahagiaan itu telah Allah simpan di belakang tangga ikhtiar. Apabila kita terburu-buru ingin segera menikmati hasil usaha sama saja kita memandulkan cita-cita besar.
Seorang pendidik itu tak ubahnya seorang pendaki yang menjadi bagian dari barisan pejuang dakwah Islam. Oleh karenanya, para pendidik itu harus senantiasa bersemangat. Mereka juga harus selalu memurnikan keikhlasannya dan berusaha memberkahkan ilmu yang dimilikinya. Untuk itu, jadilah pendidik yang visioner. Pendidik yang tidak hanya membekali anak didiknya dengan pengetahuan, tetapi juga ketrampilan. Selain itu, pendidik juga wajib menanamkan karakter diri yang penuh daya saing.
Namun, lagi-lagi kita harus disuguhkan dengan kenyataan pahit berikut. Pernahkah anda mendengar ada satu lembaga bimbel yang diprotes sebuah lembaga pendidikan karena ada salah satu staff pengajarnya membocorkan soal-soal ujian? Atau pernahkah anda menjumpai beberapa oknum guru memberikan soal-soal latihan harian yang 100% sama dengan soal-soal ujian?
Atas nama solidaritas mungkin sebagian orang memakluminya. Namun dibelakang kealpaannya itu, sejatinya mereka telah mengajarkan karaker bebek. Anak didik dibiasakan untuk membebek pada kesempatan-kesempatan yang menjerumuskan. Bagaimana tidak? Hanya untuk menghadapi sebuah ujian saja, anak diajarkan bagaimana cara bersiasat dengan mendekati mereka yang menjadi juru kunci. Bukan malah dididik mental, fisik dan akalnya.
Maka, Maha Suci Allah yang telah memelihara hati setiap pedidik dari kecurangan ini. Pendidik yang bukan menempatkan angka sebagai cita-cita besar tetapi pendidik yang mengidamkan peradaban besar. Sebuah peradaban yang diisi oleh generasi-generasi cerdas lagi mencerdaskan orang lain.

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More